ANGKRINGAN
Angkringan
– nangkring - nongkrong, ya apapun namanya adalah sebuah sebutan nama yang berarti
duduk santai. (Angkringan - berasal dari bahasa
Jawa ' Angkring ' yang berarti duduk santai).
Merunut berbagi sumber
yang ada, Angkringan sebenarnya adalah sebuah gerobak dorong yang menjual
berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Angkringan ini beroperasi mulai sore hari, dengan
mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir
atau lampu teplok, dan bisa juga dibantu oleh penerangan lampu jalan.
Adapun makanan yang dijual antara
lain sego (nasi) kucing sebagai makanan utama, aneka sate (mulai dari sate
telur puyuh, sate usus ayam, sate cecek/kikil sapi, sate jeroan ayam, dan aneka
sate lainnya), berbagai macam gorengan, kerupuk, dan lain-lain.
Selain makanan yang dijual, juga
tidak lepas dari minuman, baik minuman untuk pelepas dahaga, teman nongkrong
atau pun sandingan makanan, minuman yang dijual pun beraneka ragam mulai dari
minuman panas, minuman hangat dan minuman dingin, semua bisa dijangkau saku dan
dompet penikmat kuliner.
Untuk harga, para penikmat kuliner
tidak perlu khawatir karena harga makanan dan minuman yang dijual sangat
terjangkau karena murah. Sehingga konsumennya pun sangat bervariasi, mulai dari
tukang becak, pegawai kantor, pegawai bank, anak sekolah hingga para pejabat.
Berdasarkan data yang ada, angkringan
terkenal sebagai tempat yang merakyat, karena pembeli yang datang sangat
bervariasi dengan tidak membeda-bedakan garis strata sosial. Semua bisa
menikmati suasana di angkringan dengan bebas ngobrol hingga larut malam
meskipun mereka tidak saling kenal.
Asal Muasal Angkringan
Berbicara
mengenai angkringan, hal ini tidak bisa lepas dari asal kata Angkringan di
Jogjakarta. Berdasarkan sumber-sumber yang ada, Angkringan di Jogjakarta dipelopori
oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an, dan bisa dikatakan Mbah Pairo
merupakan penggagas pertama/pionir angkringan di Jogjakarta.
Cawas
ini secara adminstratif
masuk wilayah Klaten,
yang merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau.
Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat
Mbah Pairo mengadu nasib
ke Jogjakarta. Saat Mbah Pairo berjualan, angkringan menggunakan pikulan
berbeda dengan masa sekarang yang kebanyakan menggunakan gerobak. Angkringan
pun lebih dikenal dengan “Ting-ting Hik”. Hal ini dikarenakan penjualnya pada
saat menjajakan dagangan berteriak “Hiiik ...... iyeek”.
Seiring dengan berjalannya waktu,
“Angkringan Mbah Pairo” kemudian diwariskan kepada Lik Man, yang merupakan
putra Mbah Pairo pada tahun 1969, saat ini lokasi Lik Man berada di sebalah
utara Stasiun Tugu Jogjakarta.
Dibandingkan
dengan di Jogjakarta yang populer dengan nama “Angkringan”, di Solo memiliki
penyebutan yang berbeda, yang biasa disebut dengan nama “HIK”, yang merupakan
kepanjangan nama dari “Hidangan Istimewa Kampung”.
Saat ini
angkringan tersebar dimana-mana, baik di pinggir jalan, kaki lima, ruko bahkan
dalam bentuk restoran. Hal ini tidak menjadi masalah bagi penikmat kuliner
angkringan, karena sensasi nangkring sambil ngopi dan menikmati sajian
angkringan merupakan hal yang sangat menarik bagi pecinta kuliner.
0 Comments